Mikrokontroler • IoT • AI • Database

Belajar & Membangun Sistem Nyata, dari Edge sampai Cloud

Kursus praktik dan tulisan blog profesional untuk ESP32, dashboard web, API & database, sampai AI/ML di edge & cloud—kurasi oleh instruktur berpengalaman.

Kurikulum bertahap
Studi kasus nyata
Best-practice keamanan
Hero
Kelas Terbaru

Kursus Pilihan

Kurikulum terstruktur dari pemula hingga mahir: ESP32, IoT Web, API, Database, dan AI di Edge/Cloud.

Belum ada kursus yang dipublish.
Wawasan & Praktik

Blog Teknis

Tulisan singkat, padat, dan dapat dipraktikkan: AI, IoT, DevOps, keamanan, dan integrasi sistem.

MIT Introduction to Deep Learning
Link:
Komentar

Belum ada komentar.

Chaos Sebagai Guru: Dari Prigogine ke Rumi
Bayangkan seekor kupu-kupu mengepakkan sayapnya di Bandung. Tampak biasa saja. Tapi beberapa hari kemudian, badai besar menggulung dataran luas di Texas, Amerika. Fenomena ini dikenal sebagai efek kupu-kupu, bagian dari teori chaos. Ia menunjukkan bahwa perubahan kecil dalam sistem kompleks bisa memicu dampak besar dan tak terduga. Ini bukan sekadar dongeng fisika, melainkan pintu masuk menuju cara baru melihat dunia: teori struktur disipatif.
Teori ini dikembangkan oleh Ilya Prigogine (1917–2003), ilmuwan Rusia-Belgia yang semasa kecilnya hidup dalam pelarian karena revolusi dan perang. Ia menyaksikan sendiri dunia yang sering tidak stabil. Tapi dari kekacauan itu, ia menemukan pola: sistem justru bisa menciptakan keteraturan baru ketika berada jauh dari keseimbangan.
Dalam bukunya Order Out of Chaos (1984, bersama Isabelle Stengers), Prigogine membuktikan bahwa sistem terbuka (seperti air mendidih, atmosfer, bahkan masyarakat) dapat mengalami transformasi yang lebih kompleks dan stabil melalui ketidakteraturan.
Bayangkan air dipanaskan dalam panci. Awalnya tenang, lalu muncul pusaran-pusaran simetris dan indah. Itulah contoh sederhana dari struktur disipatif: keteraturan yang muncul dari ketidakteraturan. Bukan kehancuran, tapi kelahiran pola baru. Karena temuannya ini, Prigogine dianugerahi Nobel Kimia tahun 1977. Tapi lebih dari itu, ia membuka jendela baru: bahwa kehidupan bukan soal mempertahankan kestabilan, melainkan kemampuan untuk berubah dan melampaui diri ketika mengalami krisis.
Pemikiran Prigogine diteruskan dan diperluas oleh Fritjof Capra (lahir 1939), fisikawan Austria yang tertarik pada keterkaitan antara sains, ekologi, dan spiritualitas Timur. Dalam The Web of Life (1996) dan The Systems View of Life (2014, bersama Pier Luigi Luisi, lahir 1938), Capra dan Luisi menunjukkan bahwa kehidupan bukanlah mesin, melainkan jaringan kompleks yang terus berubah. Mereka menggabungkan teori struktur disipatif dengan biologi, psikologi, dan kosmologi.
Mereka juga menolak pendekatan reduksionistik yang memotong dunia menjadi bagian-bagian kecil, lalu menganggap kebenaran adalah hasil penjumlahan bagian itu. Dalam sistem disipatif, justru pendekatan holistik menjadi penting: bahwa keseluruhan lebih besar dari jumlah bagian-bagiannya, dan hubungan antar elemen seringkali lebih penting daripada elemen itu sendiri.
Ini sejalan dengan pandangan Stuart Kauffman (lahir 1939), ahli biologi teoretis dari AS, dalam bukunya At Home in the Universe (1995). Ia menunjukkan bahwa alam memiliki kecenderungan untuk menata dirinya sendiri di tepi kekacauan (the edge of chaos). Kreativitas bukanlah anomali, melainkan sifat dasar semesta. Sistem yang hidup tumbuh bukan dengan menghindari kekacauan, tapi menggunakannya sebagai bahan bakar untuk berubah.
Gregory Bateson (1904–1980), antropolog dan ekolog dari Inggris, menyebut pentingnya pola yang menghubungkan. Dalam Steps to an Ecology of Mind (1972), ia menekankan bahwa realitas tidak bisa dipahami secara linier. Hidup adalah jaringan komunikasi, simbol, dan makna, yang terus bergerak dan menyesuaikan diri. Sedangkan Edgar Morin (lahir 1921), melalui karyanya La Méthode (1977–2004), menunjukkan pentingnya complex thinking untuk memahami dunia yang tidak stabil namun indah ini.
Dari semua itu lahir Paradigma Sains Struktur Disipatif (PSSD). Paradigma ini menggantikan lima kepercayaan dasar dari sains positivistik:
Pertama, bahwa hanya yang bisa diukur dianggap nyata (empirisme).
Kedua, bahwa semua hal bisa dijelaskan dengan memecahnya jadi bagian-bagian kecil (reduksionisme).
Ketiga, bahwa ilmuwan adalah pengamat netral dan objektif (objektivitas dan netralitas nilai).
Keempat, bahwa pertanyaan tentang makna, jiwa, atau Tuhan dianggap tidak ilmiah (penolakan terhadap metafisika).
Kelima, bahwa kebenaran hanya datang dari observasi berulang dan verifikasi logika induktif (verifikasi).
PSSD membalik semua itu. Ia mengakui bahwa tidak semua yang penting bisa diukur. Ia merangkul ketidakteraturan sebagai sumber kreativitas. Ia melihat peneliti sebagai bagian dari realitas, bukan di luar realitas. Ia membuka ruang untuk makna, nilai, dan dimensi transenden. Dan ia tidak mencari kebenaran yang beku, melainkan membiarkan kebenaran tumbuh seperti organisme hidup.
Di sinilah pemikiran kuantum menjadi relevan. Misalnya Federico Faggin (lahir 1941), penemu mikroprosesor dan pemikir kesadaran kuantum, dalam bukunya Irreducible - Consciousness, life, computers, and human nature. Di sana, dia mengusulkan bahwa kesadaran bukan hasil dari otak fisik, melainkan dimensi fundamental dari realitas.
Menurut Faggin, dunia fisik adalah proyeksi dari kesadaran yang lebih dalam. Ia menyebutnya sebagai struktur informasi non-materi—sebuah pendekatan yang harmonis dengan PSSD, karena keduanya melihat realitas sebagai jaringan terbuka yang terus berkembang.
Roger Penrose (lahir 1931), fisikawan dan matematikawan dari Inggris, bersama Stuart Hameroff, mengembangkan teori Orchestrated Objective Reduction (Orch-OR), yang mengaitkan kesadaran manusia dengan kolaps gelombang probabilistik dalam struktur mikrotubul otak. Dalam The Emperor’s New Mind (1989), Penrose menentang gagasan bahwa semua pikiran dapat direduksi menjadi algoritma. Ia menyatakan, pikiran dan semesta memiliki unsur niscaya yang tak bisa direduksi, ini sejalan dengan pandangan struktur disipatif tentang kelahiran keteraturan dari ketidakpastian.
David Bohm (1917–1992), rekan Einstein, memperkenalkan gagasan implicate order dalam bukunya Wholeness and the Implicate Order (1980). Menurut Bohm, realitas memiliki lapisan terdalam yang tak terlihat namun menjadi dasar dari segala bentuk. Perubahan bukanlah kekacauan, tetapi ekspresi dari tatanan tersembunyi yang terus-menerus menyingkapkan dirinya. Ia menegaskan bahwa segala hal saling terhubung secara non-lokal, dan pandangan ini sangat selaras dengan paradigma struktur disipatif.
Jika kita memakai lensa Faggin, Penrose, dan Bohm, maka dunia bukanlah mesin mati yang berjalan buta. Dunia adalah struktur informasi hidup yang muncul dari kesadaran, dari pola-pola non-linear yang bersifat spiritual, kreatif, dan tak terduga. Realitas bukanlah peta tetap, melainkan tarian antara kemungkinan dan aktualisasi.
Dengan paradigma ini, kita memahami bahwa ketika hidup terasa kacau—ketika kita remuk, kehilangan arah, atau runtuh—bukan berarti semuanya berakhir. Bisa jadi itu awal dari bentuk baru kita. Sama seperti air yang mendidih, atau badai yang melahirkan ekosistem baru, atau partikel kuantum yang melompat antara kemungkinan, kita pun bisa tumbuh.
Dunia tidak harus tenang untuk menjadi indah. Struktur disipatif mengajarkan: kekacauan bukan akhir, tapi jalan menuju harmoni yang lebih tinggi. Dan berikut renungan sastrawi-filsafatnya:
Puisi: Dari Kekacauan Menuju Cahaya
Kadangkala kita menyebutnya kekacauan
Angin ribut yang merobek langit biru
Badai yang memukul pagi-pagi
Dan runtuhan yang menggugurkan harapan
Padahal...
Itu bukan semata kehancuran
Bukan hanya derak dan debu
Tapi pintu yang pelan-pelan dibuka
Oleh tangan-tangan tak terlihat
Menuju sesuatu yang belum kita mengerti,
Seperti puing-puing kota lama
Yang melahirkan taman-taman baru
Seperti tangis pertama seorang bayi
Yang jadi nyanyian pertama kehidupan
Prigogine mengajarkan:
Bukalah dirimu, wahai manusia
Terimalah bahwa semesta ini menari
Tak dalam barisan lurus
Tapi dalam pusaran dan spiral
Yang menggiring kita—lewat luka—
Menuju bentuk yang lebih tinggi
Ia berkata:
Jangan takut pada chaos
Karena di baliknya
Tersimpan sketsa rahmat
Yang hanya bisa dibaca oleh jiwa
Yang tenang,
Yang terhubung,
Yang mencinta
Sebagaimana kata Rumi
Lewat cinta,
Ampas berubah jadi sari murni
Lumpur jadi teratai
Derita jadi doa
Retak jadi cahaya
Dan kita—yang menyangka dunia ini karam—
Sesungguhnya sedang disiapkan
Untuk jadi kapal baru
Lebih kuat
Lebih halus
Lebih dalam
Maka jangan kau kutuki badai
Karena ia mengusir kabut
Jangan kau keluhkan reruntuhan
Karena ia membuka langit
Dan jika hatimu ikut remuk
Biarkan
Karena mungkin, dari sana
Akan tumbuh mata air
Yang tak pernah kering.

Sumber:
https://kumparan.com/filsafatsainsdimitrimahayana/chaos-sebagai-guru-dari-prigogine-ke-rumi-25WaHGCazgS/full
Dimitri Mahayana:
Dosen Filsafat Sains S3 di STEI ITB.Pakar ICT lulusan Waseda University, Jepang & founder konsultan ICT Sharing Vision, Bandung.
Komentar

Belum ada komentar.